readbud - get paid to read and rate articles

Kamis, 21 Mei 2015

Maracanazo (English)

On 16 July 1950, Uruguay defeated Brazil by the score of 2-1 in the final match of the World Cup at the Estadio do Maracaña in Rio de Janeiro. The paid attendance was 173,850, but many reports place the actual attendance closer to 200,000.

The 1950 tournament was Uruguay's first since winning the inaugural 1930 tournament and it was the first World Cup to be held since 1938, as the tournaments scheduled for 1942 and 1946 were cancelled due to World War II. A number of countries, such as Japan and the newly-divided Germany, were unable to compete, leaving only 13 teams to participate. As a result, FIFA changed the format so that the winner was determined by a four-team round-robin as opposed to a knockout stage.

Going into the final match, Brazil was one point ahead of Uruguay in the standings, which meant that the hosts would claim the trophy with either a win or a draw. The Brazilians were heavy favorites, with overwhelming victories against Sweden (7-1) and Spain (6-1) in their first two matches of the round-robin. Uruguay, on the other hand, had drawn with Spain (2-2) and had come from behind against Sweden with an 84th-minute matchwinner (3-2).

Reportedly, FIFA President Jules Rimet was so confident in a Brazil victory that he had already prepared a post-match speech in Portuguese to congratulate them. Similarly, the Brazilian Football Confederation had prepared winners' medals for each of the Brazilian players.

Uruguay was unwilling to play the role of sacrifical lamb, however. Disregarding the defensive strategy devised by their manager, Juan López, the Uruguayan side attacked the favorites, a decision that appeared unwise when Brazilian forward Friaça gave the hosts a 1-0 lead in the 47th minute. But Uruguay's attacks paid off as they equalized in the 66th minute with a goal from forward Juan Alberto Schiaffino, then took the lead with a strike from winger Alcides Ghiggia, who was Schiaffino's teammate at Uruguayan club Peñarol.

According to Rimet, Ghiggia's goal had a dramatic effect on the crowd, saying "the silence was morbid, sometimes too difficult to bear." And, in fact, two Brazil supporters in attendance were shaken so badly by the loss that they committed suicide by jumping off the stands.

The match gave rise to the slang term "Maracanazo," which refers to any upset in the Maracaña of the Brazilian national team or any of the Big Four Brazilian clubs (Flamengo, Fluminense, Vasco da Gama, and Botafogo). After the match, the Brazilian national team determined that their white and blue kit was jinxed, so they changed to the yellow, green, and blue kits they wear today.

source from : 
Brian Seal, This day in Football History
Posted on Thursday 16 July 2009
http://tdifh.blogspot.com/2009/07/16-july-1950-maracanazo.html

Tragedi Maracanazo

Hari ini, persis 63 tahun silam, Brasil mengalami petaka terbesar dalam sejarah sepakbola mereka, "Maracanazo" alias "Tamparan Maracana". Cuma butuh minimal hasil seri untuk menjadi jawara dunia di rumah sendiri dan telah mempersiapkan selebrasi meriah sebelum laga digelar, Selecao justru keok 2-1 di tangan Uruguay. Trofi Piala Dunia pun melayang disambar sang lawan.

Gelaran PD keempat -- edisi 1942 dan 1946 ditiadakan akibat Perang Dunia II -- yang dihelat pada 1950 ini terbilang unik. Inilah satu-satunya turnamen yang tak mengenal partai final. Sang kampiun ditentukan lewat fase akhir bersistem round-robin terdiri dari empat negara. Yang berhak menembus babak ini adalah pemuncak grup babak awal: Brasil, Spanyol, Swedia serta Uruguay.

Sementara tuan rumah Selecao tampak perkasa sejak start kompetisi, cuma kehilangan satu angka di babak awal, menggebuk Meksiko 4-0 dan Yugoslavia 2-0 plus imbang 2-2 dengan Swiss, Charruas terbilang beruntung bisa melaju ke putaran akhir. Berada di Grup 4 yang sedianya hanya berisikan tiga tim, langkah Uruguay kian ringan karena cuma harus melakoni satu pertandingan setelah Prancis memutuskan mundur dari kompetisi. Laga tunggal versus Bolivia, tim lain di grup, dimenangi dengan mudah oleh laskar asuhan Juan Lopez lewat skor mencolok 8-0.

Di fase final, Brasil terus menunjukkan kegagahan dengan menghantam Swedia 7-1 serta Spanyol 7-1, sedangkan Uruguay harus bersusah-payah mengimbangi Spanyol 2-2 dan menaklukkan Swedia 3-2. Mengantungi nilai empat (kemenangan saat itu masih dihargai dua angka), Brasil unggul sebiji poin atas Uruguay jelang partai terakhir sekaligus menentukan antara kedua tim dan hanya memerlukan hasil imbang guna menahbiskan diri sebagai kampiun.

Melihat sepak terjang kedua negara, Brasil dengan kekuatan ofensifnya nan dahsyat otomatis menjadi favorit sangat kuat untuk memenangi turnamen, apa lagi laga bakal dimainkan di Maracana, stadion megah yang pertama kali dibangun untuk Piala Dunia ini. Seluruh lapisan masyarakat setempat pun percaya 100 persen tim kesayangan mereka tak bakal terbendung menuju puncak dunia untuk kali pertama sepanjang sejarah.

Pada publikasinya di pagi hari sebelum laga digelar, surat kabar lokal O Mundo bahkan sudah berani mencetak foto tim Brasil dengan tajuk "Inilah sang juara dunia". Melihat timnya disepelekan, kapten Uruguay, Obdulio Varela, membeli sebanyak mungkin eksemplar koran tersebut sebelum menaruhnya di lantai kamar mandi kamar hotelnya dan mengajak rekan-rekannya mengencinginya.

Dengan keberanian dan jiwa kepemimpinan yang kuat, sang kapten sangat instrumental dalam membangkitkan semangat juang Charruas, bahkan lebih dari pelatih Juan Lopez.
"Muchachos, los de afuera son de palo. Que empiece la función."
Obdulio Varela, kapten Uruguay di PD 1950 

Jelang kick-off, Lopez menginstruksikan pasukannya untuk bertahan karena menilai hanya strategi itu yang dapat menangkal kekuatan Brasil. Varela berkata lain. Seusai sang bos meninggalkan ruang ganti, pemain berposisi gelandang ini berkata: "Juancito adalah pria baik, tapi hari ini dia salah. Kalau kita bermain defensif melawan Brasil, nasib kita tak akan berbeda dari Spanyol atau Swedia." Varela kemudian menyampaikan orasi inspirasional yang menekankan bahwa skuat Uruguay mesti berjuang melawan segala prediksi dan tak perlu gentar dengan intimidasi suporter tuan rumah. Satu kalimatnya yang dikenang hingga kini adalah: "Muchachos, los de afuera son de palo. Que empiece la función." ("Kawan-kawan,  semua penonton di luar itu terbuat dari kayu. Mari kita mulai permainan.")

Efek dongkrakan moril sang kapten langsung terlihat. Walau secara permainan tetap banyak ditekan dan sulit lepas dari kepungan Brasil, La Celeste sukses mempertahankan skor kacamata di paruh pertama. Namun, hanya dua menit selepas turun minum, gawang Uruguay akhirnya bobol juga oleh gol Friaca dan membuat publik Maracana bergemuruh hebat. Varela toh tak kehabisan akal dan sama sekali tak patah semangat.

Ia berjalan pelan ke arah gawang, mengambil bola, lantas berdebat dengan wasit George Reader asal Inggris bahwa gol semestinya tak disahkan lantaran Friaca terjebak off-side. Adu argumen ini sengaja terus diulur-ulur Varela sampai memaksa sang pengadil menghadirkan penerjemah. Tujuannya? Supaya atmosfer stadion kembali tenang. Setelahnya, ia membawa bola ke tengah lapangan untuk melakukan kick-off, dan berteriak kepada rekan-rekannya: "Sekarang waktunya untuk menang!"

Siasat tersebut bekerja sempurna. Dengan tekanan penonton berkurang, Uruguay berhasil mengambil alih kontrol permainan, dan menghadapi barisan ofensif Uruguay yang sebenarnya memang mumpuni, kerapuhan lini belakang Brasil terekspos. Juan Alberto Schiaffino pun menyamakan angka di menit ke-66. Kedudukan 1-1 masih cukup buat Brasil mengamankan titel, tapi momentum laga telanjur berpindah ke Uruguay. 11 menit sebelum bubaran, winger Alcides Ghiggia yang bergerak dari kanan melewati hadangan bek Bigode sebelum menendang langsung ke tiang dekat. Kiper Moacir Barbosa yang mengira Ghiggia bakal mengirim umpan silang pun tak kuasa mencegah terjadinya gol. 200 ribu suporter Brasil yang memadati Maracana langsung sunyi tak bersuara. "Keheningannya mengerikan, kadang terlalu sulit untuk ditahan," komentar Jules Rimet, presiden FIFA penggagas PD yang namanya diabadikan sebagai nama trofi sejak gelaran tahun 1950 tersebut.

Imbas hasil mencengangkan ini sungguh masif. Bagi Brasil, memalukan sekaligus memilukan. Bahkan Rimet sendiri, yang seharusnya netral, menduga Brasil-lah yang akan menang sampai-sampai ia telah menyiapkan pidato dalam bahasa Portugis untuk menyelamati skuat Selecao. Yang bikin miris, organisator Piala Dunia meninggalkan sang presiden FIFA di lapangan sambil memegang trofi. Tak ada persiapan seremoni juara buat Uruguay sehingga Rimet harus memanggil sendiri Varela untuk menyerahkan piala.

22 medali emas yang telah dipersiapkan federasi sepakbola Brasil (CBF) -- waktu itu FIFA tak menghadiahkan medali untuk tim pemenang -- dengan nama setiap pemain dicetak di atasnya terpaksa dibuang. Sementara lagu "Brasil os vencedores" alias "Brasil Sang Pemenang" yang sengaja diciptakan beberapa hari sebelum final akhirnya tak pernah diperdengarkan.

Dua orang fans yang menyaksikan langsung laga bahkan begitu terpukul sampai melakukan bunuh diri seketika dengan melompat dari tribun penonton. Sementara itu, para personel tim asuhan Flavio Costa mesti rela menerima hujatan dari suporter. Kebanyakan dari mereka akhirnya memilih pensiun diam-diam, sementara beberapa pemain lain tak pernah lagi dipanggil memperkuat timnas.

Kiper Moacir Barbosa barangkali menjadi pemain yang nasibnya paling mengenaskan. Sepanjang sisa hidupnya Barbosa menjadi kambing hitam kekalahan Brasil akibat kesalahannya mengantisipasi tindakan Ghiggia, yang ternyata memilih menembak alih-alih melepas crossing. "Hukuman pidana paling berat di Brasil adalah 30 tahun penjara, tapi saya telah dihukum untuk sesuatu yang bahkan bukan kesalahan saya, sampai sekarang, selama 50 tahun," ucap Barbosa dalam sebuah interviu pada 2000, beberapa waktu sebelum ajal menjemputnya.



Warna jersey Brasil yang kita kenal sekarang juga merupakan dampak dari "Maracanazo". Semula seragam kebesaran Selecao berwarna putih-putih dengan garis leher biru. Usai ditekuk Uruguay, mereka menganggapjersey tersebut membawa sial dan mengubahnya menjadi kaus kuning dengan garis leher hijau plus celana biru serta kaus kaki putih. Sementara warna hijau dipilih sebagai seragam kedua. 

"Maracanazo" pada akhirnya dipergunakan juga untuk laga-laga lain di stadion keramat tersebut kalau tim nonunggulan sukses keluar sebagai pemenang, baik itu negara tamu yang menantang tuan rumah Brasil maupun klub-klub semenjana yang menghadapi empat klub terbesar di Rio de Janeiro: Flamengo, Vasco da Gama, Fluminense, dan Botafogo. Namun, setiap kali mendengar istilah "Maracanazo", pikiran orang pastinya bakal melayang kembali ke 16 Juli 1950, ketika Uruguay menghadirkan tangis duka untuk sepakbola Brasil.

Sumber : 
Dede Sugita
www.Goal.com Tanggal 16 Juli 2013
http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-dunia-2014/2013/07/16/4120342/sejarah-hari-ini-16-juli-maracanazo

Senin, 28 April 2014

Asal Usul Kata OK


Hingga kini tidak ada konsensus tentang asal usul kata okay.

Choctaw

Pada pertengahan 1960-an, penyanyi folk Pete Seeger menulis lagu "All Mixed Up" yang liriknya berisi kata okay. Menurutnya, kata okay berasal dari bahasa Indian Choctaw, seperti cenderung disetujui oleh kamus-kamus pada waktu itu. Tiga buku rujukan terbitan Amerika Serikat, (Webster's, New Century, Funk & Wagnalls) mengutip bahasa Choctaw sebagai kemungkinan asal usul kata okay hingga akhir 1961.
Bukti-bukti terawalnya berasal dari karya-karya misionaris Cyrus Byington dan Alfred Wright pada tahun 1825. Ketika menerjemahkan Alkitab, kedua misionaris ini mengakhiri banyak kalimat mereka dengan partikel "okeh" (sering di akhir kalimat) yang berarti "demikianlah" ("it is so").
Buku-buku ejaan Choctaw selanjutnya lebih menitikberatkan prosa daripada daftar-daftar ejaan, dan di dalamnya dipakai partikel itu[,] namun mereka juga tidak pernah memasukkannya ke dalam daftar kata atau membahasnya secara langsung. Mereka menganggap penggunaan partikel "oke" atau "hoke" begitu sangat umum dan jelas dengan sendirinya sehingga tidak perlu lagi penjelasan atau pembahasan untuk pembaca orang Choctaw atau non-Choctaw.

Sejarah Napoleon Bonaparte

Napoleon Bonaparte
Kaisar Napoleon Bonaparte (lahir di pulau Korsika, 15 Agustus 1769 – meninggal 5 Mei 1821 pada umur 51 tahun) berasal dari sebuah keluarga bangsawan lokal dengan nama Napoleone di Buonaparte (dalam bahasa Korsika, Nabolione atau Nabulione). Di kemudian hari ia mengadaptasi nama Napoléon Bonaparte yang lebih berbau Perancis. 
  
Asal-usul dan pendidikan
Napoleon Bonaparte adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Ia lahir di Casa Bounaparte, di kota Ajaccio, Korsika, pada tanggal 15 Agustus 1769, satu tahun setelah kepulauan tersebut diserahterimakan Republik Genoa kepada Perancis. Ia lahir dengan nama Napoleone di Bounaparte, namun ia mengubah namanya menjadi Napoléon Bonaparte yang lebih berbau Perancis. Keluarga Bounaparte adalah keluarga bangsawan yang berasal dari Italia, yang pindah ke Korsika di abad ke-16/ Ayahnya, Nobile Carlo Bounaparte, seorang pengacara, pernah menjadi perwakilan korsika saat Louis XVI berkuasa di tahun 1777. Ibunya bernama Maria Letizia Ramolino. Ia memiliki seorang kakak, Joseph; dan 5 adik, yaitu Lucien, Elisa, Louis, Pauline, Caroline, dan Jérôme. Napoleon di baptis sebagai katolik beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang kedua, tepatnya tanggal 21 Juli 1771 di Katerdal Ajaccio. Kebangsawanan, kekayaan, serta koneksi keluarganya yang luas memberikan Napoleon kesempatan yang luas untuk belajar hingga ke jenjang yang tinggi. Pada bulan Januari 1779, Napoleon didaftarkan pada sebuah sekolah agama di Autun, Perancis, untuk belajar bahasa Perancis, dan pada bulan Mei ia mendaftar di sebuah akademi militer di Brienne-le-Château. Di sekolah, ia berbicara dengan logat Korsika yang kental sehingga ia sering dicemooh teman-temannya; memaksanya untuk belajar. Napoleon pintar matematika, dan cukup memahami pelajaran sejarah dan geografi. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Brienne pada 1784, Napoleon mendaftar di sekolah elit École Militaire di Paris. Di sana ia dilatih menjadi seorang perwira artileri. Ketika bersekolah di sana, ayahnya meninggal. Ia pun dipaksa menyelesaikan sekolah yang normalnya memakan waktu dua tahun itu menjadi satu tahun. Ia diuji oleh ilmuwan terkenal Pierre-Simon Laplace, yang di kemudian hari ditunjuk oleh Napoleon untuk menjadi anggota senat.

Selasa, 18 Februari 2014

10 Tip Memulai Usaha Kecil dan Meraih Sukses

Kalau Anda melihat Bill Gates atau Mark Zuckenberg, pasti Anda tergiur dengan kekayaan mereka yang luar biasa. Tapi sadarkah Anda, bahwa mereka juga memulai semuanya dari usaha kecil mereka. Dan tak satupun dari mereka yang menduga bakal mencetak keberhasilan seperti sekarang.

Perusahaan pemula yang berubah menjadi perusahaan sukses bernilai miliaran bahkan triliunan, dalam dunia bisnis tak bedanya dengan pemenang lotere. Meletakkan semua uang Anda dan berharap mendapatkan jackpot, Anda justru bakalan terpuruk.

Berikut 10 aturan untuk memulai usaha kecil. Daftar ini lebih untuk membuat Anda menyadari kenyataan yang ada, ketimbang gila-gilaan mengejar impian terdahsyat Anda dalam berbisnis.

Minggu, 02 Februari 2014

Pekerjaan yang terancam punah di masa yang akan datang

Perkembangan teknologi belakangan ini banyak menuai dampak positif bagi masyarakat. yaitu dengan Berbagai kemudahan yang dirasakan masyarakat  dengan adanya kemajuan teknologi. namun di samping itu teknologi juga membuat pekerjaan manusia bisa dilakukan oleh mesin. tentunya hal ini bisa mempersempit peluang kerja. Nah berikut ini  adalah pekerjaan pekerjaan yang terancam punah seiring kemajuan teknologi :

1. Teller Bank
Peran dari pekerjaan yang satu ini sudah mulai digantikan oleh mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Saat ini, nasabah bank dapat mengambil uang tunai, transfer dana, membayar tagihan, hingga membeli pulsa melalui mesin ATM. Melalui sebuah mesin khusus lainnya, nasabah pun dapat menyetor uang tunai ke rekeningnya.

Menurut Mark Gilder, Director of Distribution Strategy Citibank, saat ini setidaknya 85 persen pekerjaan teller bank dapat dilakukan di ATM.

Meskipun begitu, jenis pekerjaan ini masih belum digantikan oleh mesin sepenuhnya. Menurut Bureau of Labor Statistics (BLS) AS, tidak ada perubahan yang terlalu signifikan pada jumlah tenaga kerja ini hingga tahun 2022 mendatang.
2. Kasir
Kasir merupakan salah satu contoh lain pekerjaan yang dapat digantikan dengan mesin. Beberapa toko besar di AS dan negara-negara Barat lainnya sudah menyediakan sebuah mesin khusus untuk layanan mandiri para pembelinya.

Nantinya, para pembeli bisa memindai dan melakukan pembayaran secara mandiri melalui mesin tersebut. Hingga saat ini, mesin mandiri tersebut diketahui sudah berjumlah 430.000 unit di seluruh dunia, meningkat hingga empat kali lipatnya dari tahun 2008 lalu.

3. Resepsionis
Tugas menerima panggilan telepon yang biasanya dimiliki oleh resepsionis saat ini sudah mulai dikerjakan oleh mesin penjawab atau sistem asisten virtual. Salah satu sistem yang mulai terkenal adalah virtual receptionist.

Di negara dengan teknologi maju seperti Jepang, peran resepsionis bahkan sudah tergantikan robot sungguhan. 

4. Operator telepon
Sama seperti resepsionis, tugas penerima panggilan dari konsumen sudah mulai tergantikan mesin penjawab otomatis.
5. Tukang Pos
Peran surat berbentuk fisik saat ini sudah tergantikan oleh e-mail atau surat elektronik. Selain lebih hemat, tidak menggunakan prangko, kertas, dan lain-lain, e-mail dapat terkirim hanya dalam hitungan detik saja.
6.Agen perjalanan
Beberapa tahun lalu, konsumen harus pergi ke agen perjalanan apabila ingin memesan tiket pesawat. Namun, kini konsumen dapat melakukannya sendiri melalui situs maskapai yang ingin digunakan.

Selain lebih praktis, konsumen dapat memilah sendiri, tiket mana yang paling murah.
 

7. Juru ketik
Peran juru ketik untuk masa depan diprediksi akan tergantikan oleh mesin atau software pengenal suara. Saat ini, para ahli dan perusahaan teknologi raksasa terus mengembangkan dan menyempurnakan sistem tersebut.
8.Reporter
Dengan meningkatnya layanan blog dan media online, profesi reporter media cetak atau koran diprediksi akan terus menurun.

Perangkat lunak pun kini sudah mulai dapat digunakan untuk menulis artikel. Sebagai contoh, The New York Times menggunakan teknologi situs web semantik untuk membuat pengumuman pernikahan.

Alih-alih seorang reporter menulis berita pernikahan, para pembaca dapat memasukkan informasi sendiri melalui dunia maya, seperti informasi pengantin, pekerjaan, dan banyak lagi. Informasi tersebut nantinya akan diatur sedemikian rupa oleh sebuah perangkat lunak untuk dijadikan sebuah artikel pengumuman pernikahan.

9. Penginput data
Peran pekerjaan ini dapat digantikan oleh software pengenal suara, sama seperti juru ketik.
10. Telemarketer
Tidak berbeda dari resepsionis, peran telemarketer juga bisa digantikan oleh sistem mesin penjawab otomatis

Fakta Unik Tentang Android

Siapa yang tidak mengenal android ? hari ini sepertinya hampir semua orang sudah mengenal sistem operasi yang satu ini. Ya, Android ialah sistem operasi yang paling populer pada  masa ini. hampir setiap ponsel keluuaran terbaru menggunakan OS ini. nah berikut adalah beberapa fakta unik dari Sistem operasi Android yang layak untuk kalian ketahui :
 
1. OS ini 1 di dunia
Android merupakan sistem operasi no 1 di ranah ponsel dunia yang sebelumnya di pegang oleh Symbian.