Hari ini, persis 63 tahun silam, Brasil mengalami petaka terbesar dalam sejarah sepakbola mereka, "Maracanazo" alias "Tamparan Maracana". Cuma butuh minimal hasil seri untuk menjadi jawara dunia di rumah sendiri dan telah mempersiapkan selebrasi meriah sebelum laga digelar, Selecao justru keok 2-1 di tangan Uruguay. Trofi Piala Dunia pun melayang disambar sang lawan.
Gelaran PD keempat -- edisi 1942 dan 1946 ditiadakan akibat Perang Dunia II -- yang dihelat pada 1950 ini terbilang unik. Inilah satu-satunya turnamen yang tak mengenal partai final. Sang kampiun ditentukan lewat fase akhir bersistem round-robin terdiri dari empat negara. Yang berhak menembus babak ini adalah pemuncak grup babak awal: Brasil, Spanyol, Swedia serta Uruguay.
Sementara tuan rumah Selecao tampak perkasa sejak start kompetisi, cuma kehilangan satu angka di babak awal, menggebuk Meksiko 4-0 dan Yugoslavia 2-0 plus imbang 2-2 dengan Swiss, Charruas terbilang beruntung bisa melaju ke putaran akhir. Berada di Grup 4 yang sedianya hanya berisikan tiga tim, langkah Uruguay kian ringan karena cuma harus melakoni satu pertandingan setelah Prancis memutuskan mundur dari kompetisi. Laga tunggal versus Bolivia, tim lain di grup, dimenangi dengan mudah oleh laskar asuhan Juan Lopez lewat skor mencolok 8-0.
Di fase final, Brasil terus menunjukkan kegagahan dengan menghantam Swedia 7-1 serta Spanyol 7-1, sedangkan Uruguay harus bersusah-payah mengimbangi Spanyol 2-2 dan menaklukkan Swedia 3-2. Mengantungi nilai empat (kemenangan saat itu masih dihargai dua angka), Brasil unggul sebiji poin atas Uruguay jelang partai terakhir sekaligus menentukan antara kedua tim dan hanya memerlukan hasil imbang guna menahbiskan diri sebagai kampiun.
Melihat sepak terjang kedua negara, Brasil dengan kekuatan ofensifnya nan dahsyat otomatis menjadi favorit sangat kuat untuk memenangi turnamen, apa lagi laga bakal dimainkan di Maracana, stadion megah yang pertama kali dibangun untuk Piala Dunia ini. Seluruh lapisan masyarakat setempat pun percaya 100 persen tim kesayangan mereka tak bakal terbendung menuju puncak dunia untuk kali pertama sepanjang sejarah.
Pada publikasinya di pagi hari sebelum laga digelar, surat kabar lokal O Mundo bahkan sudah berani mencetak foto tim Brasil dengan tajuk "Inilah sang juara dunia". Melihat timnya disepelekan, kapten Uruguay, Obdulio Varela, membeli sebanyak mungkin eksemplar koran tersebut sebelum menaruhnya di lantai kamar mandi kamar hotelnya dan mengajak rekan-rekannya mengencinginya.
Dengan keberanian dan jiwa kepemimpinan yang kuat, sang kapten sangat instrumental dalam membangkitkan semangat juang Charruas, bahkan lebih dari pelatih Juan Lopez.
"Muchachos, los de afuera son de palo. Que empiece la función."
- Obdulio Varela, kapten Uruguay di PD 1950
|
Jelang kick-off, Lopez menginstruksikan pasukannya untuk bertahan karena menilai hanya strategi itu yang dapat menangkal kekuatan Brasil. Varela berkata lain. Seusai sang bos meninggalkan ruang ganti, pemain berposisi gelandang ini berkata: "Juancito adalah pria baik, tapi hari ini dia salah. Kalau kita bermain defensif melawan Brasil, nasib kita tak akan berbeda dari Spanyol atau Swedia." Varela kemudian menyampaikan orasi inspirasional yang menekankan bahwa skuat Uruguay mesti berjuang melawan segala prediksi dan tak perlu gentar dengan intimidasi suporter tuan rumah. Satu kalimatnya yang dikenang hingga kini adalah: "Muchachos, los de afuera son de palo. Que empiece la función." ("Kawan-kawan, semua penonton di luar itu terbuat dari kayu. Mari kita mulai permainan.")
Efek dongkrakan moril sang kapten langsung terlihat. Walau secara permainan tetap banyak ditekan dan sulit lepas dari kepungan Brasil, La Celeste sukses mempertahankan skor kacamata di paruh pertama. Namun, hanya dua menit selepas turun minum, gawang Uruguay akhirnya bobol juga oleh gol Friaca dan membuat publik Maracana bergemuruh hebat. Varela toh tak kehabisan akal dan sama sekali tak patah semangat.
Ia berjalan pelan ke arah gawang, mengambil bola, lantas berdebat dengan wasit George Reader asal Inggris bahwa gol semestinya tak disahkan lantaran Friaca terjebak off-side. Adu argumen ini sengaja terus diulur-ulur Varela sampai memaksa sang pengadil menghadirkan penerjemah. Tujuannya? Supaya atmosfer stadion kembali tenang. Setelahnya, ia membawa bola ke tengah lapangan untuk melakukan kick-off, dan berteriak kepada rekan-rekannya: "Sekarang waktunya untuk menang!"
Siasat tersebut bekerja sempurna. Dengan tekanan penonton berkurang, Uruguay berhasil mengambil alih kontrol permainan, dan menghadapi barisan ofensif Uruguay yang sebenarnya memang mumpuni, kerapuhan lini belakang Brasil terekspos. Juan Alberto Schiaffino pun menyamakan angka di menit ke-66. Kedudukan 1-1 masih cukup buat Brasil mengamankan titel, tapi momentum laga telanjur berpindah ke Uruguay. 11 menit sebelum bubaran, winger Alcides Ghiggia yang bergerak dari kanan melewati hadangan bek Bigode sebelum menendang langsung ke tiang dekat. Kiper Moacir Barbosa yang mengira Ghiggia bakal mengirim umpan silang pun tak kuasa mencegah terjadinya gol. 200 ribu suporter Brasil yang memadati Maracana langsung sunyi tak bersuara. "Keheningannya mengerikan, kadang terlalu sulit untuk ditahan," komentar Jules Rimet, presiden FIFA penggagas PD yang namanya diabadikan sebagai nama trofi sejak gelaran tahun 1950 tersebut.
Imbas hasil mencengangkan ini sungguh masif. Bagi Brasil, memalukan sekaligus memilukan. Bahkan Rimet sendiri, yang seharusnya netral, menduga Brasil-lah yang akan menang sampai-sampai ia telah menyiapkan pidato dalam bahasa Portugis untuk menyelamati skuat Selecao. Yang bikin miris, organisator Piala Dunia meninggalkan sang presiden FIFA di lapangan sambil memegang trofi. Tak ada persiapan seremoni juara buat Uruguay sehingga Rimet harus memanggil sendiri Varela untuk menyerahkan piala.
22 medali emas yang telah dipersiapkan federasi sepakbola Brasil (CBF) -- waktu itu FIFA tak menghadiahkan medali untuk tim pemenang -- dengan nama setiap pemain dicetak di atasnya terpaksa dibuang. Sementara lagu "Brasil os vencedores" alias "Brasil Sang Pemenang" yang sengaja diciptakan beberapa hari sebelum final akhirnya tak pernah diperdengarkan.
Dua orang fans yang menyaksikan langsung laga bahkan begitu terpukul sampai melakukan bunuh diri seketika dengan melompat dari tribun penonton. Sementara itu, para personel tim asuhan Flavio Costa mesti rela menerima hujatan dari suporter. Kebanyakan dari mereka akhirnya memilih pensiun diam-diam, sementara beberapa pemain lain tak pernah lagi dipanggil memperkuat timnas.
Kiper Moacir Barbosa barangkali menjadi pemain yang nasibnya paling mengenaskan. Sepanjang sisa hidupnya Barbosa menjadi kambing hitam kekalahan Brasil akibat kesalahannya mengantisipasi tindakan Ghiggia, yang ternyata memilih menembak alih-alih melepas crossing. "Hukuman pidana paling berat di Brasil adalah 30 tahun penjara, tapi saya telah dihukum untuk sesuatu yang bahkan bukan kesalahan saya, sampai sekarang, selama 50 tahun," ucap Barbosa dalam sebuah interviu pada 2000, beberapa waktu sebelum ajal menjemputnya.
Warna jersey Brasil yang kita kenal sekarang juga merupakan dampak dari "Maracanazo". Semula seragam kebesaran Selecao berwarna putih-putih dengan garis leher biru. Usai ditekuk Uruguay, mereka menganggapjersey tersebut membawa sial dan mengubahnya menjadi kaus kuning dengan garis leher hijau plus celana biru serta kaus kaki putih. Sementara warna hijau dipilih sebagai seragam kedua.
"Maracanazo" pada akhirnya dipergunakan juga untuk laga-laga lain di stadion keramat tersebut kalau tim nonunggulan sukses keluar sebagai pemenang, baik itu negara tamu yang menantang tuan rumah Brasil maupun klub-klub semenjana yang menghadapi empat klub terbesar di Rio de Janeiro: Flamengo, Vasco da Gama, Fluminense, dan Botafogo. Namun, setiap kali mendengar istilah "Maracanazo", pikiran orang pastinya bakal melayang kembali ke 16 Juli 1950, ketika Uruguay menghadirkan tangis duka untuk sepakbola Brasil.
Sumber :
Dede Sugita
www.Goal.com Tanggal 16 Juli 2013
http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-dunia-2014/2013/07/16/4120342/sejarah-hari-ini-16-juli-maracanazo